bagaimana cara menyuling daun nilam.Menyuling daun nilam hanya dalam 2,5 jam, bukan delapan jam seperti pada
lazimnya. Rendemen pun lebih tinggi, 7%.
Bertahun-tahun Sugono menyuling daun nilam dengan teknologi uap tak
langsung. Penyuling di Kota Bogor,
Provinsi Jawa Barat, itu tergerak menerapkan teknik ekstraksi untuk memperoleh
minyak nilam. Cara itu memang tak biasa bagi penyuling nilam.Teknik ekstraksi
lazim diterapkan ketika produsen menyuling bahan baku minyak asiri berendemen rendah, kurang
dari 1%. Contoh menyuling bunga mawar atau bunga melati.
Sugono menerapkan teknik ekstraksi karena ingin tahu rendemen nilam yang
sesungguhnya. Alumnus Akademi Kimia Analis itu menggunakan daun nilam kering
angin 1-2 hari. Ia lantas merajang daun nilam. Dalam riset itu, Sugono
menggunakan 1 kg daun nilam, dengan pelarut 2-3 liter. Pelarut yang ia gunakan
selalu tunggal, tetapi jenisnya beragam, kadang-kadang ia memanfaatkan benzana,
heksana, atau dietil eter. Pada percobaan lain, ia memanfaatkan pelarut
kloroform atau aseton.
Rendemen tinggi
Dari beragam pelarut itu, yang hasilnya paling tinggi adalah kloroform. Namun, harga kloroform tergolong tinggi, mencapai Rp4-juta-Rp6-juta. Harga heksana dan benzena termasuk murah-masing-masing Rp17.000 dan Rp15.000 per liter. Sugono mengulangi percobaan itu hingga 5 kali dan menghasilkan rendemen rata-rata 7%. Artinya dari 1 kg bahan baku ia memperoleh 70 g. “Pelarut mengikat minyak asiri pada daun sehingga rendemen meningkat,” kata ayah 3 anak itu.
Sugono memang belum menerapkan ekstraksi untuk menyuling nilam dalam jumlah besar. Namun, menurut Sugono hal itu sangat memungkinkan. Jadi mengganti teknik uap tak langsung dengan ekstraksi untuk memperoleh minyak nilam. Jika benar begitu, penyuling perlu 200 liter pelarut setiap kali menyuling 100 kg daun nilam. Harga pelarut benzena, saat ini Rp15.000 per liter atau total Rp3-juta. Hasil penyulingan mencapai 7 kg minyak atau 5 kg lebih banyak daripada hasil penyulingan konvensional.
Riset lain di Semarang, Provinsi Jawa Tengah, justru memperlihatkan bahwa waktu suling amat singkat, hanya 2,5 jam dan rendemen 4%. Padahal, penyuling nilam rata-rata menghabiskan waktu 7-8 jam hingga memperoleh minyak kekuningan itu. Penyuling nilam di Bekasi, Jawa Barat, Hartono, menghabiskan 7 jam hingga menghasilkan minyak berkadar PA (patchouli alcohol) 32% dengan rendemen 1,5% Jika mulai menyuling 1 kuintal daun nilam pada pukul 08.00, Hartono baru memperoleh 1,5 kg minyak pada pukul 15.00.
“Kalau bisa dipercepat, tentu penyuling sangat terbantu,” kata Hartono. Penyulingan cepat berarti hemat bahan bakar dan efisien. Alat destilasi ibarat mesin pabrik, perlu banyak bahan bakar untuk menyalakan. Jika hanya menyuling 1 siklus lalu berhenti, biaya bahan bakar pun berlipat sehingga penyuling bakal rugi. Untuk mengatasinya, penyuling mendestilasi nonstop selama bahan baku tersedia. Bila siklus penyulingan 7 jam, dalam sehari semalam ia hanya 3 kali mendestilasi.
Titik didih
Periset yang sukses memangkas durasi penyulingan nilam menjadi hanya 2,5 jam itu adalah Thomas Aquino Bambang Irawan. Ia menggunakan pelarut heksana dan benzena. Biasanya penyuling nilam menggunakan pelarut air. Padahal air bersifat polar, tidak bercampur dengan minyak, serta bertitik didih tinggi-hingga 100oC. “Minyak nilam nonpolar sehingga perlu pelarut bersifat sama agar reaksi optimal,” ujar Bambang. Itu cocok dengan heksana dan benzena.
Titik didih keduanya pun rendah: heksana 69oC; benzena, 80oC. “Semakin rendah titik didih, kian mudah memisahkan minyak,” kata alumnus Teknik Kimia Universitas Diponegoro itu. Meski sama-sama nonpolar, sifat heksana dan benzena berbeda. Heksana mampu melarutkan lebih banyak zat pewangi, sedangkan benzena bukan hanya melarutkan minyak, tetapi juga melarutkan zat lilin, albumin, dan zat warna.
Mula-mula, Bambang melayukan daun dan batang nilam selama 3 hari lalu mencacah hingga berukuran 1 cm. Tujuannya, “Memecah dinding sel sehingga ekstrak mudah keluar,” tutur Bambang. Selanjutnya Bambang Irawan memasukkan cacahan daun nilam ke dalam ekstraktor, menambahkan pelarut, dan mengaduk pada kecepatan 200 putaran per menit.
Bambang menentukan perbandingan antara pelarut heksana dan benzena dalam berbagai variasi. Untuk setiap 2 g cacahan daun nilam, Bambang menambahkan 30 ml pelarut-campuran heksana dan benzena. Perbandingan bobot batang dan daun serta waktu ekstraksi juga bervariasi untuk memperoleh hasil terbaik. Selanjutnya Bambang menyaring hasil ekstraksi-berupa cairan bening kekuningan bercampur cacahan nilam-memisahkan ampas, lalu menyuling cairan.
Ia kemudian menyuling larutan ekstraksi itu pada suhu 40ÂșC dan tekanan 177 mmHg. Sebenarnya minyak nilam baru mendidih pada suhu 280,37oC. Namun, pada suhu 56oC aroma minyak bakal rusak-lazim disebut minyak gosong.Untuk menurunkan titik didih, Bambang menurunkan tekanan penyulingan dari 760 mmHg menjadi 177 mmHg.
Batang dan daun
Hasil terbaik muncul pada perbandingan bobot batang dan daun 2 : 1 pada ekstraksi selama 150 menit dengan volume heksana dan benzena 3 : 1 dengan rendemen 4,3%. Itu lebih dari 2 kali lipat rendemen penyulingan konvensional rata-rata hanya 2%. Kadar PA mencapai 32%-standar kualitas minyak nilam harus memiliki kadar PA di atas 30%. Proses itu menghasilkan minyak nilam dengan indeks bias 1,5181. “Semakin tinggi indeks bisa, semakin baik kualitas minyak nilam,” ujar Bambang.
Untuk memperoleh minyak terbaik, ternyata perlu batang lebih besar ketimbang daun, yakni 2 : 1. Menurut Bambang, daun memang lebih banyak menghasilkan minyak, tapi kualitasnya kalah dengan minyak di batang. Pasalnya, atom karbon asimetris penyebab sifat patchouli alcohol terkandung di batang.
Menurut Bambang, skala ekonomis tercapai jika menyuling setidaknya 100 kg bahan kering, yang berarti memerlukan 1.500 liter pelarut. Toh, jumlah itu bisa dikurangi 10% tanpa mempengaruhi hasil. Kelebihan lain, “Pelarut bisa digunakan kembali,” ungkap Bambang. Itu dengan catatan penyuling menambahkan 10% pelarut baru setiap kali menyuling untuk mengganti pelarut yang menguap atau tercecer saat penyulingan. (Desi Sayyidati Rahimah)majalah trubus
Rendemen tinggi
Dari beragam pelarut itu, yang hasilnya paling tinggi adalah kloroform. Namun, harga kloroform tergolong tinggi, mencapai Rp4-juta-Rp6-juta. Harga heksana dan benzena termasuk murah-masing-masing Rp17.000 dan Rp15.000 per liter. Sugono mengulangi percobaan itu hingga 5 kali dan menghasilkan rendemen rata-rata 7%. Artinya dari 1 kg bahan baku ia memperoleh 70 g. “Pelarut mengikat minyak asiri pada daun sehingga rendemen meningkat,” kata ayah 3 anak itu.
Sugono memang belum menerapkan ekstraksi untuk menyuling nilam dalam jumlah besar. Namun, menurut Sugono hal itu sangat memungkinkan. Jadi mengganti teknik uap tak langsung dengan ekstraksi untuk memperoleh minyak nilam. Jika benar begitu, penyuling perlu 200 liter pelarut setiap kali menyuling 100 kg daun nilam. Harga pelarut benzena, saat ini Rp15.000 per liter atau total Rp3-juta. Hasil penyulingan mencapai 7 kg minyak atau 5 kg lebih banyak daripada hasil penyulingan konvensional.
Riset lain di Semarang, Provinsi Jawa Tengah, justru memperlihatkan bahwa waktu suling amat singkat, hanya 2,5 jam dan rendemen 4%. Padahal, penyuling nilam rata-rata menghabiskan waktu 7-8 jam hingga memperoleh minyak kekuningan itu. Penyuling nilam di Bekasi, Jawa Barat, Hartono, menghabiskan 7 jam hingga menghasilkan minyak berkadar PA (patchouli alcohol) 32% dengan rendemen 1,5% Jika mulai menyuling 1 kuintal daun nilam pada pukul 08.00, Hartono baru memperoleh 1,5 kg minyak pada pukul 15.00.
“Kalau bisa dipercepat, tentu penyuling sangat terbantu,” kata Hartono. Penyulingan cepat berarti hemat bahan bakar dan efisien. Alat destilasi ibarat mesin pabrik, perlu banyak bahan bakar untuk menyalakan. Jika hanya menyuling 1 siklus lalu berhenti, biaya bahan bakar pun berlipat sehingga penyuling bakal rugi. Untuk mengatasinya, penyuling mendestilasi nonstop selama bahan baku tersedia. Bila siklus penyulingan 7 jam, dalam sehari semalam ia hanya 3 kali mendestilasi.
Titik didih
Periset yang sukses memangkas durasi penyulingan nilam menjadi hanya 2,5 jam itu adalah Thomas Aquino Bambang Irawan. Ia menggunakan pelarut heksana dan benzena. Biasanya penyuling nilam menggunakan pelarut air. Padahal air bersifat polar, tidak bercampur dengan minyak, serta bertitik didih tinggi-hingga 100oC. “Minyak nilam nonpolar sehingga perlu pelarut bersifat sama agar reaksi optimal,” ujar Bambang. Itu cocok dengan heksana dan benzena.
Titik didih keduanya pun rendah: heksana 69oC; benzena, 80oC. “Semakin rendah titik didih, kian mudah memisahkan minyak,” kata alumnus Teknik Kimia Universitas Diponegoro itu. Meski sama-sama nonpolar, sifat heksana dan benzena berbeda. Heksana mampu melarutkan lebih banyak zat pewangi, sedangkan benzena bukan hanya melarutkan minyak, tetapi juga melarutkan zat lilin, albumin, dan zat warna.
Mula-mula, Bambang melayukan daun dan batang nilam selama 3 hari lalu mencacah hingga berukuran 1 cm. Tujuannya, “Memecah dinding sel sehingga ekstrak mudah keluar,” tutur Bambang. Selanjutnya Bambang Irawan memasukkan cacahan daun nilam ke dalam ekstraktor, menambahkan pelarut, dan mengaduk pada kecepatan 200 putaran per menit.
Bambang menentukan perbandingan antara pelarut heksana dan benzena dalam berbagai variasi. Untuk setiap 2 g cacahan daun nilam, Bambang menambahkan 30 ml pelarut-campuran heksana dan benzena. Perbandingan bobot batang dan daun serta waktu ekstraksi juga bervariasi untuk memperoleh hasil terbaik. Selanjutnya Bambang menyaring hasil ekstraksi-berupa cairan bening kekuningan bercampur cacahan nilam-memisahkan ampas, lalu menyuling cairan.
Ia kemudian menyuling larutan ekstraksi itu pada suhu 40ÂșC dan tekanan 177 mmHg. Sebenarnya minyak nilam baru mendidih pada suhu 280,37oC. Namun, pada suhu 56oC aroma minyak bakal rusak-lazim disebut minyak gosong.Untuk menurunkan titik didih, Bambang menurunkan tekanan penyulingan dari 760 mmHg menjadi 177 mmHg.
Batang dan daun
Hasil terbaik muncul pada perbandingan bobot batang dan daun 2 : 1 pada ekstraksi selama 150 menit dengan volume heksana dan benzena 3 : 1 dengan rendemen 4,3%. Itu lebih dari 2 kali lipat rendemen penyulingan konvensional rata-rata hanya 2%. Kadar PA mencapai 32%-standar kualitas minyak nilam harus memiliki kadar PA di atas 30%. Proses itu menghasilkan minyak nilam dengan indeks bias 1,5181. “Semakin tinggi indeks bisa, semakin baik kualitas minyak nilam,” ujar Bambang.
Untuk memperoleh minyak terbaik, ternyata perlu batang lebih besar ketimbang daun, yakni 2 : 1. Menurut Bambang, daun memang lebih banyak menghasilkan minyak, tapi kualitasnya kalah dengan minyak di batang. Pasalnya, atom karbon asimetris penyebab sifat patchouli alcohol terkandung di batang.
Menurut Bambang, skala ekonomis tercapai jika menyuling setidaknya 100 kg bahan kering, yang berarti memerlukan 1.500 liter pelarut. Toh, jumlah itu bisa dikurangi 10% tanpa mempengaruhi hasil. Kelebihan lain, “Pelarut bisa digunakan kembali,” ungkap Bambang. Itu dengan catatan penyuling menambahkan 10% pelarut baru setiap kali menyuling untuk mengganti pelarut yang menguap atau tercecer saat penyulingan. (Desi Sayyidati Rahimah)majalah trubus
terima kasih mas, bermanfaat sekali
ReplyDeleteterima kasih mas, bermanfaat sekali
ReplyDeleteTerimakasih atas informasinya. Sangat bermanfaat. Bolehkah saya meminta email untuk saya berkonsultasi dengan Bapak/Ibu? Kebetulan saya hendak melakukan penelitian tentang ekstraksi nilam pada berbagai pelarut. Terimakasih..
ReplyDelete