durian mantoala
S iang itu telepon genggam Trubus berdering. Di ujung telepon kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) Provinsi Kalimantan Selatan, Ir Darmawati, mengabarkan, “Ini ada durian mantoala dari Kabupaten Balangan,” katanya. Tidak banyak yang diceritakan Darmawati, tapi nama mantoala yang baru Trubus dengar menggelitik rasa penasaran.
Tiba di kantor BPSB, Darmawati menyodorkan 3 durian berbobot rata-rata 1,3 kg. Sosok ketiga buah tanaman anggota famili Bombacaceae itu unik. Pada ujung buah yang berbentuk lonjong itu seperti memiliki pentil. Ciri itu mirip karakter khas papaken alias lai Durio kutejensis. Kemiripan lain warna kulit kekuningan, tetapi duri besar-besar dan lebar layaknya Durio zibethinus.
Silangan
Begitu dibelah, terlihat daging buah yang jingga mentereng, ciri khas lai. Namun, aduhai...! Saat dicicip, justru rasa durian yang tercecap di lidah: legit, sedikit seperti ada krim, dan agak pahit, serta bertekstur lembut. Citarasa agak pahit biasanya pada durian Durio zibethinus. Beda dengan rasa papaken yang kerap ditemukan bercitarasa manis saja dan cenderung tawar seperti ubi. “Rasanya jadi kombinasi durian dan papaken,” ujar Darmawati. Gigi terasa tenggelam dalam daging buah yang tebal, hingga 0,6—1 cm.
Pantas bila mantoala menjadi idaman para mania durian di Kalimantan Selatan. Mereka berani membeli mantoala yang dibanderol hingga Rp30.000—Rp50.000 per buah. Harga itu 2—3 kali lipat harga lai atau durian lain yang dijajakan di lapak-lapak durian di Banjarmasin. Kisaran harga durian kakilima itu Rp10.000—Rp25.000 per buah.
Melihat ciri-ciri buah dan citarasa daging buah, Darmawati menduga mantoala merupakan hasil persilangan alami antara lai dengan durian. Di Balangan banyak pohon lai dan durian yang tumbuh berdekatan. “Kondisi itu menyebabkan terjadi persilangan karena bunga keduanya kompatibel,” ujarnya. Hasil persilangan itu melahirkan generasi baru lai dengan citarasa durian.
Mantoala asal Kabupaten Balangan boleh dibilang pendatang baru. Darmawati lebih mengenal mantoala asal Desa Layuh, Kecamatan Batubenawa, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Menurut tetua adat di daerah Gunung Layuh, Desa Layuh, mantoala tumbuh di sana sejak 100 tahun silam. Ciri khas lai juga terlihat jelas pada mantoala asal kabupaten seluas 1.703 km2 itu. Bunganya berwarna merah muda. Bunga durian berwarna putih.
Berdasarkan data dari Balai Penyuluhan Pertanian Kabupaten Hulu Sungai Selatan, saat ini populasi mantuala hanya tersisa sekitar 65 pohon yang tersebar di Kecamatan Batubenawa, Batang Alai Timur, Haruyan, dan Hantakan. Hasil pengamatan BPSB Kalimantan Selatan, dari seluruh tanaman itu mantoala milik H Radiansyah di Desa Layuh berumur 11 tahun yang terenak. Warna daging buah jingga, tekstur daging buah halus, kadar kemanisan 10,3o briks, dan kering. Tebal daging buah 7,8—8 mm.
Produktivitas pun tinggi, 150—175 buah per tahun. Musim panen biasanya pada Desember—Januari. Dengan berbagai keunggulan itu, mantoala itu ditetapkan sebagai varietas unggul lokal berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian nomor 3272/kpts/sr.120/10/2010 dengan nama durian mantuala batubenawa.
Menurut Radiansyah, mantuala batubenawa berasal dari biji. Pada 2000 ia menanam biji dari 5 buah mantuala yang tumbuh di lereng pegunungan Meratus, Kalimatan Selatan. Dari seluruh biji yang ditanam hanya satu yang bertahan hidup hingga kini menjadi tanaman berumur 11 tahun. Bermula dari Desa Layuh, penanaman mantoala lalu menyebar ke Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong dengan sebutan mantuala.
Enak
Peneliti durian asal Bulungan, Kalimantan Timur, Dr Lutfi Bansir SP MP, menuturkan persilangan dengan durian merupakan salah satu cara untuk memperbaiki citarasa lai. Itulah sebabnya doktor alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu mencoba menyilangkan antara salah satu durian unggul dengan lai yang tumbuh di salah satu rumah warga di Desa Pait, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, pada 2009.
Teknik serupa juga diterapkan Taman Wisata Mekarsari (TWM) di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Periset di TWM mencoba membuahkan lai mas menggunakan serbuk sari berbagai jenis durian seperti matahari dan sebaliknya. “Bunga lai kompatibel sehingga tingkat keberhasilannya tergolong tinggi. Jika prosedur penyilangan tepat, tingkat keberhasilan mencapai 70—80%,” ujar staf riset Taman Wisata Mekarsari, Parimin. Hanya saja buah hasil persilangan itu belum mempengaruhi karakter buah lai. Varian hasil persilangan itu baru terlihat bila biji hasil silangan ditanam dan berbuah. “Masih harus menunggu 5—7 tahun lagi,” kata Lutfi.
Meski begitu bukan berarti lai nonsilangan menjadi kalah asor. “Lai juga seperti durian. Rasanya bervariasi, mulai hambar hingga manis sampai pahit,” ujar periset durian di Balai Penelitian Tanaman Buah Tropik (Balitbu), Panca Jarot Santosa. Buktinya di Kalimantan Timur populer aneka jenis lai enak seperti lai kayan, lai rencong, lai nangka, dan lai batuah.
Di Desa Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Nursyah Zaili menanam 25 pohon lai di sela-sela tanaman kakao. Pengepul membeli lai yang mereka sebut dengan durian tembaga itu Rp10.000—Rp15.000 per buah. Harga jual di tingkat konsumen mencapai Rp20.000—Rp25.000 per buah. Padahal, di sana para pekebun biasanya menjual durian ke pengepul dengan sistem tebas. Dari sepohon Zaili biasanya memanen 50—100 buah.
Menurut Jarot, lai berpotensi dikembangkan di tanahair karena memiliki beberapa keistimewaan. Kerabat randu itu beraroma lembut, warna daging atraktif, dan musim buahnya berbeda dengan durian sehingga dapat mengisi kekosongan saat musim durian usai. Hanya saja tekstur daging buah cenderung bertepung dan hanya berasa manis sehingga kurang disukai para mania berat durian. “Rasa lai cocok untuk penggemar durian pemula yang tidak menyukai aroma terlalu tajam dan rasa pahit,” ujarnya. Dengan seleksi dan pengembangan jenis unggul, tak mustahil di masa mendatang lai bakal mendampingi si raja buah di pasaran. (Imam Wiguna/Peliput: Ridha YK)
www.trubus-online.com
S iang itu telepon genggam Trubus berdering. Di ujung telepon kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) Provinsi Kalimantan Selatan, Ir Darmawati, mengabarkan, “Ini ada durian mantoala dari Kabupaten Balangan,” katanya. Tidak banyak yang diceritakan Darmawati, tapi nama mantoala yang baru Trubus dengar menggelitik rasa penasaran.
Tiba di kantor BPSB, Darmawati menyodorkan 3 durian berbobot rata-rata 1,3 kg. Sosok ketiga buah tanaman anggota famili Bombacaceae itu unik. Pada ujung buah yang berbentuk lonjong itu seperti memiliki pentil. Ciri itu mirip karakter khas papaken alias lai Durio kutejensis. Kemiripan lain warna kulit kekuningan, tetapi duri besar-besar dan lebar layaknya Durio zibethinus.
Silangan
Begitu dibelah, terlihat daging buah yang jingga mentereng, ciri khas lai. Namun, aduhai...! Saat dicicip, justru rasa durian yang tercecap di lidah: legit, sedikit seperti ada krim, dan agak pahit, serta bertekstur lembut. Citarasa agak pahit biasanya pada durian Durio zibethinus. Beda dengan rasa papaken yang kerap ditemukan bercitarasa manis saja dan cenderung tawar seperti ubi. “Rasanya jadi kombinasi durian dan papaken,” ujar Darmawati. Gigi terasa tenggelam dalam daging buah yang tebal, hingga 0,6—1 cm.
Pantas bila mantoala menjadi idaman para mania durian di Kalimantan Selatan. Mereka berani membeli mantoala yang dibanderol hingga Rp30.000—Rp50.000 per buah. Harga itu 2—3 kali lipat harga lai atau durian lain yang dijajakan di lapak-lapak durian di Banjarmasin. Kisaran harga durian kakilima itu Rp10.000—Rp25.000 per buah.
Melihat ciri-ciri buah dan citarasa daging buah, Darmawati menduga mantoala merupakan hasil persilangan alami antara lai dengan durian. Di Balangan banyak pohon lai dan durian yang tumbuh berdekatan. “Kondisi itu menyebabkan terjadi persilangan karena bunga keduanya kompatibel,” ujarnya. Hasil persilangan itu melahirkan generasi baru lai dengan citarasa durian.
Mantoala asal Kabupaten Balangan boleh dibilang pendatang baru. Darmawati lebih mengenal mantoala asal Desa Layuh, Kecamatan Batubenawa, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Menurut tetua adat di daerah Gunung Layuh, Desa Layuh, mantoala tumbuh di sana sejak 100 tahun silam. Ciri khas lai juga terlihat jelas pada mantoala asal kabupaten seluas 1.703 km2 itu. Bunganya berwarna merah muda. Bunga durian berwarna putih.
Berdasarkan data dari Balai Penyuluhan Pertanian Kabupaten Hulu Sungai Selatan, saat ini populasi mantuala hanya tersisa sekitar 65 pohon yang tersebar di Kecamatan Batubenawa, Batang Alai Timur, Haruyan, dan Hantakan. Hasil pengamatan BPSB Kalimantan Selatan, dari seluruh tanaman itu mantoala milik H Radiansyah di Desa Layuh berumur 11 tahun yang terenak. Warna daging buah jingga, tekstur daging buah halus, kadar kemanisan 10,3o briks, dan kering. Tebal daging buah 7,8—8 mm.
Produktivitas pun tinggi, 150—175 buah per tahun. Musim panen biasanya pada Desember—Januari. Dengan berbagai keunggulan itu, mantoala itu ditetapkan sebagai varietas unggul lokal berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian nomor 3272/kpts/sr.120/10/2010 dengan nama durian mantuala batubenawa.
Menurut Radiansyah, mantuala batubenawa berasal dari biji. Pada 2000 ia menanam biji dari 5 buah mantuala yang tumbuh di lereng pegunungan Meratus, Kalimatan Selatan. Dari seluruh biji yang ditanam hanya satu yang bertahan hidup hingga kini menjadi tanaman berumur 11 tahun. Bermula dari Desa Layuh, penanaman mantoala lalu menyebar ke Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong dengan sebutan mantuala.
Enak
Peneliti durian asal Bulungan, Kalimantan Timur, Dr Lutfi Bansir SP MP, menuturkan persilangan dengan durian merupakan salah satu cara untuk memperbaiki citarasa lai. Itulah sebabnya doktor alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu mencoba menyilangkan antara salah satu durian unggul dengan lai yang tumbuh di salah satu rumah warga di Desa Pait, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, pada 2009.
Teknik serupa juga diterapkan Taman Wisata Mekarsari (TWM) di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Periset di TWM mencoba membuahkan lai mas menggunakan serbuk sari berbagai jenis durian seperti matahari dan sebaliknya. “Bunga lai kompatibel sehingga tingkat keberhasilannya tergolong tinggi. Jika prosedur penyilangan tepat, tingkat keberhasilan mencapai 70—80%,” ujar staf riset Taman Wisata Mekarsari, Parimin. Hanya saja buah hasil persilangan itu belum mempengaruhi karakter buah lai. Varian hasil persilangan itu baru terlihat bila biji hasil silangan ditanam dan berbuah. “Masih harus menunggu 5—7 tahun lagi,” kata Lutfi.
Meski begitu bukan berarti lai nonsilangan menjadi kalah asor. “Lai juga seperti durian. Rasanya bervariasi, mulai hambar hingga manis sampai pahit,” ujar periset durian di Balai Penelitian Tanaman Buah Tropik (Balitbu), Panca Jarot Santosa. Buktinya di Kalimantan Timur populer aneka jenis lai enak seperti lai kayan, lai rencong, lai nangka, dan lai batuah.
Di Desa Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Nursyah Zaili menanam 25 pohon lai di sela-sela tanaman kakao. Pengepul membeli lai yang mereka sebut dengan durian tembaga itu Rp10.000—Rp15.000 per buah. Harga jual di tingkat konsumen mencapai Rp20.000—Rp25.000 per buah. Padahal, di sana para pekebun biasanya menjual durian ke pengepul dengan sistem tebas. Dari sepohon Zaili biasanya memanen 50—100 buah.
Menurut Jarot, lai berpotensi dikembangkan di tanahair karena memiliki beberapa keistimewaan. Kerabat randu itu beraroma lembut, warna daging atraktif, dan musim buahnya berbeda dengan durian sehingga dapat mengisi kekosongan saat musim durian usai. Hanya saja tekstur daging buah cenderung bertepung dan hanya berasa manis sehingga kurang disukai para mania berat durian. “Rasa lai cocok untuk penggemar durian pemula yang tidak menyukai aroma terlalu tajam dan rasa pahit,” ujarnya. Dengan seleksi dan pengembangan jenis unggul, tak mustahil di masa mendatang lai bakal mendampingi si raja buah di pasaran. (Imam Wiguna/Peliput: Ridha YK)
www.trubus-online.com
No comments:
Post a Comment